Benarkah Taj Mahal dibangun untuk Shah Jahan untuk mengenang Mumtaz Mahal, permaisurinya? Atau justru ada cerita yang sama sekali tak terduga dibalik megah dan indahnya bangunan peristirahatan terakhir sang permaisuri? Misterius.
Kisah yang dilatari oleh lingkungan kesultanan, sebuah Benteng Merah, sebutan untuk istana sang sultan dan sungai Yamuna yang tergambarkan dengan sejuk dan indah di sebuah kawasan tropik India menerbangkan khayal pembaca ke abad 17.
Islam yang minoritas tetapi sebagai penguasa digambarkan mengayomi rakyat mayoritasnya yang Hindu. Persahabatan yang baik mulai bermasalah saat putra kedua Sultan, Alamgir, mulai bernafsu, sejak saat remajanya, pada kekuasaan yang digambarkan bersembunyi di balik agama Islam yang fanatik. Tidak mau mengakomodir Hindu.
Tokoh utama, Jahanara, putri Sultan dan Mumtaz Mahal, yang dididik ibunya sebagai perempuan yang kuat, cerdas, dan mandiri, sejak remajanya sudah harus menghadapi kebencian Alamgir (Aurangzeb), kakaknya yang memandang rendah perempuan dengan justifikasi Islamnya dan menyokong kelemah-lembutan (atau kelemahan?) Dara (sang putra mahkota), juga belajar menghadapi para politikus yang mengelilingi Sultan.
Jhon Shors sangat gemilang memberikan gambaran feminisme mutlak pada tumbuh kembang Jahanara oleh permaisuri yang juga digambarkan sangat cerdas. Pembelaan hak-hak perempuan di masa yang perempuan masih sangat dinomorsekiankan sangat bisa diterima. Banyak gambaran indah tentang kata-kata Arjumand (Mumtaz Mahal) tentang perempuan yang sangat menginspirasi, seperti:
“kecantikan memperindah dirimu Jahanara, tapi yang terpenting adalah pikiranmu”, atau
“kau menikahi orang yang kau nikahi” (halaman 37), atau
di halaman 42 yang menggambarkan kepribadian kuatnya:
Arjumand memandang rendah tradisi yang mengikat masyarakat kami. sementara para lelaki mengejar apa saja yang mereka inginkan, perempuan dipaksa bertindak sebagai bayangan, bersembunyi dari cahaya, hanya mengikuti jejak mereka. Dan betapa Arjumand membenci bayang-bayang! Permaisuri adalah satu dari sedikit wanita Hindustan yang memperoleh hampir semua yang diinginkannya. Dia tidak berpakaian layaknya laki-laki tentu saja, namun ia berbicara seperti mereka, tidak takut menyuarakan pikirannya.
atau: “kita perempuan musti hati-hati, berurusan dengan lelaki ibarat bermain dengan bola api. Mereka tidak bahaya bila kau hati-hati. Tapi demi Allah, mereka bisa membakarmu bila kau lengah.” (halaman 43)
Hanya saja, ketika Sultan sendiri yang notabene Islam mulai memihak Jahanara untuk memperjuangkan cintanya pada arsitek Taj Mahal, Isa, dengan mengkhianati suami sahnya, Khondamir, dengan memberikan lorong rahasia menuju rumah persembunyian untuk keluarga kerajaan jika harus melarikan diri, tempat Jahanara dan Isa memadu kasih yang penuh dosa sebenarnya, ini sungguh suatu hal yang nista.
Sudahlah, pembaca berusaha memahami walau tak menerima bahwa kesultanan yang Islam tapi tak islami mulai nampak warnanya dengan kemunculan anggur sebagai teman makan siang atau makan malam keluarga kerajaan. Tapi seorang Sultan mendorong pada perzinahan adalah batasnya.
Lihai nian Jhon Shors mengangkat sebuah tema yang nampaknya Islam, settingnya Islam, tapi di dalamnya dia pertentangkan antara Islam yang sangat fanatik (Alamgir) dan islam yang sangat longgar (Dara, Jahanara, Sultan). Menggambar islam fanatik dalam diri Alamgir/Aurangzeb yang mencomot ayat-ayat yang disukainya dan meninggalkan ayat-ayat yang lain. Timpang.
Simbol-simbol Islam terserak di banyak halaman di novel ini, seperti adzan, masjid, jubah (tapi tipis dan menerawang? ah!) Al Qur’an (yang dinukil oleh Alamgir di bagian-bagian yang mendukung nafsunya saja).
Pembaca awam yang belum memahami Islam dengan kaffah atau yang sama sekali belum kenal Islam akan menyangka bahwa demikianlah Islam, seperti yang digambarkan Shors dalam Taj Mahal.
Boleh minum anggur yang memabukkan. Boleh berzina walaupun fanatik, seperti Alamgir. Boleh menyakiti orang tua tapi jangan sampai membunuhnya, seperti penawanan tak berperi kemanusiaan yang dilakukan Alamgir terhadap Sultan dan Jahanara, sampai kondisi Sultan yang sedang sakit parah makin menjijikkan dengan tubuh penuh kurap dan belatung.
Boleh mencampuradukkan ajaran agama seperti Dara yang saking cintanya pada rakyat Hindu, dia berusaha membuat kitab untuk menyatukan ajaran Islam dan Hindu.
Boleh berzina seperti Jahanara dan Isa. Zina yang digambarkan begitu mulia demi mengejar cinta sejati. Ditambah fakta cerita bahwa Khondamir, suami politik Jahanara, sangat kasar pada istrinya yang pasti akan mengusik solidaritas kewanitaan pembaca manapun, dan membuat mereka berpihak pada Jahanara hingga akhirnya -mungkin- akan mendukung perselingkuhan yang akhirnya perzinahan Jahanara dan Isa.
Pembangunan Taj Mahal sendiri sebenarnya sangat indah. Dimulai dari memilih arsitek, Isa, oleh Sultan. Lalu negosiasi dan intrik pendanaan yang tersurat dan tersirat. Perang kepentingan Jahanara yang membela dana untuk Taj Mahal dan Alamgir untuk dana peperangan dan penaklukan.
Paling tidak dari buku ini saya belajar bahwa sastra yang menyuguhkan setting kehidupan islam, belum tentu islami. Seperti juga novel islam progesif yang baru-baru ini ditawarkan resensinya untuk kubaca yang berjudul Gadis Kerudung Jiingga. Sekali lagi hanya membenturkan islam fanatik dan yang longgar, tapi jarang mengungkap islam yang seimbang, yang moderat, sehingga hanya mengajak pembaca untuk menjauhi core dari islam itu sendiri.
Judul: Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi
Pengarang: Jhon Shors
Penerbit: Mizan
from: http://metamorphian.wordpress.com/2010/04/12/resensi-taj-mahal-kisah-cinta-abadi/
@ tuan muda khasan
0 Response to "Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi"
Post a Comment
Terima Kasih